Di Indonesia, reggae hampir
selalu diidentikkan dengan
rasta. Padahal,
reggae
dan rasta sesungguhnya
adalah dua hal yang
berbeda. "Reggae adalah
nama
genre musik, sedangkan rasta
atau singkatan dari rastafari
adalah
sebuah pilihan jalan hidup,
way of life," ujar Ras
Muhamad (23),
pemusik reggae yang sudah
12 tahun menekuni dunia
reggae di New York
dan penganut ajaran filosofi
rasta.
Repotnya, di balik
ingar-bingar dan
kegembiraan
yang dibawa reggae, ada
stigma yang melekat pada
para penggemar musik
tersebut. Dan stigma tersebut
turut melekat pada filosofi
rasta itu
sendiri. "Di sini, penggemar
musik reggae, atau sering
salah kaprah
disebut rastafarian,
diidentikkan dengan
pengisap ganja dan bergaya
hidup
semaunya, tanpa tujuan,"
ungkap Ras yang bernama
asli Muhamad Egar ini.
Padahal, filosofi rasta
sesungguhnya justru
mengajarkan seseorang
hidup
bersih, tertib, dan memiliki
prinsip serta tujuan hidup
yang jelas.
Penganut rasta yang
sesungguhnya menolak
minum alkohol, makan
daging,
dan bahkan mengisap rokok.
"Para anggota The Wailers
(band asli Bob
Marley) tidak ada yang
merokok. Merokok
menyalahi ajaran rastafari,"
papar Ras.
Ras mengungkapkan, tidak
semua penggemar reggae
adalah penganut rasta, dan
sebaliknya, tidak semua
penganut rasta harus
menyenangi lagu reggae.
Reggae diidentikkan dengan
rasta karena Bob
Marley—pembawa genre
musik tersebut ke dunia—
adalah seorang penganut
rasta.
Ras menambahkan, salah
satu bukti bahwa komunitas
reggae di Indonesia
sebagian besar belum
memahami ajaran rastafari
adalah tidak adanya
pemahaman terhadap hal-
hal mendasar dari filosofi itu.
"Misalnya waktu
saya tanya mereka tentang
Marcus Garvey dan Haile
Selassie, mereka
tidak tahu. Padahal itu
adalah dua tokoh utama
dalam ajaran rastafari,"
ungkap pemuda yang
menggelung rambut
panjangnya dalam sorban ini.
Pemusik
Tony Q Rastafara pun
mengakui, meski ia
menggunakan embel-embel
nama
Rastafara, tetapi dia bukan
seorang penganut rasta. Tony
mencoba
memahami ajaran rastafari
yang menurut dia bisa
diperas menjadi satu
hakikat filosofi, yakni cinta
damai. "Yang saya ikuti cuma
cinta damai
itu," tutur Tony yang tidak
mau menyentuh ganja itu.
Namun, meski tidak
memahami dan menjalankan
seluruh filosofi rastafari, para
penggemar dan
pelaku reggae di Indonesia
mengaku mendapatkan
sesuatu di balik musik
yang mereka cintai itu.
Biasanya, dimulai dari
menyenangi musik reggae
(dan lirik lagu-lagunya), para
penggemar itu kemudian
mulai tertarik
mempelajari filosofi dan
ajaran yang ada di baliknya.
Seperti diakui Hendry Moses
Billy, gitaris grup Papa Rasta
asal Yogya, yang
mengaku
musik reggae semakin
menguatkan kebenciannya
terhadap ketidakadilan dan
penyalahgunaan wewenang.
Setiap ditilang polisi, ia lebih
memilih berdebat daripada
"berdamai". "Masalahnya
bukan pada uang, tetapi
praktik seperti itu tidak adil,"
tandas Moses yang mengaku
sering dibuntuti orang tak
dikenal saat beli rokok
tengah malam karena dikira
mau beli ganja.
Sementara
Steven mengaku dirinya
menjadi lebih bijak dalam
memandang hidup sejak
menggeluti musik reggae.
Musik reggae, terutama yang
dipopulerkan Bob Marley,
menurut Steven,
mengajarkan perdamaian,
keadilan, dan antikekerasan.
"Jadi kami memberontak
terhadap ketidakadilan,
tetapi tidak antikemapanan.
Kalau reggae tumbuh, maka
di Indonesia tidak akan ada
perang. Indonesia akan
tersenyum
dengan reggae," ujar Steven
mantap. Sila dan Joni dari
Bali menegaskan,
seorang rasta sejati tidak
harus identik dengan
penampilan ala Bob
Marley. "Rasta sejati itu ada
di dalam hati," tandas Sila
sambil
mengepalkan tangan kanan
untuk menepuk dadanya.
Mari kita diskusikan artikel
diatas tersebut....
Reggea Dan rasta